Bregasnews.com - “ Indonesia saat ini sedang memasuki masa kemarau yang cukup panjang, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan. Kadangkala di beberapa wilayah terjadi kebakaran, baik kebakaran hutan, perumahan, tempat sampah, dan lain – lain. Hal tentu tidak lepas juga dari peran manusia yang terkadang lalai dalam berperilaku aman, misalnya membuang puntung rokok sembarangan, membuka lahan dengan membakar hutan, dan lain – lain. Kondisi musim yang kurang bersahabat saat ini sebenarnya sesuai dengan prakiraan dari BMKG yang telah memprediksi dampak El Nino yang puncaknya pada Agustus-September 2023 ini, dimana sekitar 63% dwilayah Indonesia memasuki musim kemarau yang diprediksi akan lebih kering dari normalnya dan juga lebih kering dari tiga tahun sebelumnya “, ungkap Pemerhati Lingkungan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Minggu (27/8).
Demikian disampaikan Dede saat diminta tanggapannya terkait kekeringan dan kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Sarimukti – Bandung. Seperti diketahui bersama memang saat ini terjadi penumpukan sampah di kota Bandung khususnya, karena TPA sampah Sarimukti mengalami kebakaran yang diduga akibat adanya oknum warga yang membuang puntung rokok sembarangan. Sebagaimana beberapa kasus yang terkait dengan terjadinya kebakaran hutan pun seperti itu, meskipun untuk beberapa kasus yang lain ada dugaan kesengajaan membakar hutan untuk membuka lahan karena dianggap tidak membutuhkan biaya yang besar, tetapi tentu sangat merugikan kesehatan masyarakat. Bahkan sampai mengganggu aktivitas masyarakat dan aktivitas sekolah. Itulah untuk beberapa kasus kebakaran hutan di tanah air ada yang sampai ke meja hijau.
Lebih lanjut Dede juga menyampaikan bahwa kekeringan yang terjadi akibat rendahnya atau tidak adanya curah hujan untuk waktu yang cukup lama. Hal ini tentu mengingatkan seluruh warga akan pentingnya membuat sumur resapan ataupun biopori untuk setiap rumah guna menampung air hujan saat musim hujan tiba. Tabungan air hujan ini pada prinsipnya untuk menjaga agar kandungan air tanah tetap terjaga di musim kemarau seperti saat ini. Apabila kekeringan ini berlangsung lebih lama lagi, maka dampak yang akan ditimbulkan bukan hanya semakin sulit untuk mencari air saja, tetapi juga menyebabkan perubahan kompleks pada aspek biokimia, fisiologis, dan morfologi tanaman, membuat tanaman rentan sakit, sulit beregenerasi, bereproduksi, dan tumbuh.
Kemudian Dede menambahkan bahwa untuk kondisi tertentu, kadang Pemerintah melakukan rekayasa cuaca untuk menghasilkan Hujan Buatan yang ditujukan untuk membantu krisis di bidang sumber daya air karena iklim dan cuaca. Hujan buatan pada umumnya memberikan rangsangan ke dalam awan. Rangsangan tersebut untuk memproses terjadinya hujan di awan lebih cepat, dibandingkan dengan proses alami. Sebelum melakukan proses hujan buatan, dilakukan beberapa persiapan terlebih dahulu, seperti koordinasi dan persiapan teknis. Persiapan teknis yang dimaksud adalah memodifikasi pesawat agar bisa melakukan sistem delivery atau menghantarkan bahan kimia ke awan.
Menurutnya, terdapat beberapa tahap untuk membuat hujan buatan, di antaranya hujan buatan bisa terjadi dengan menaburkan zat glasiogenik seperti argentium iodida atau perak iodida. Penaburan bahan kimia tersebut dilakukan pada ketinggian 4.000-7.000 kaki dengan mempertimbangkan faktor arah angin dan kecepatan angin. Penaburan bahan juga dilakukan pada saat pagi hari. Hal ini karena biasanya awan hujan alami terjadi pada pagi hari.
Selain zat glasiogenik, juga bisa menggunakan bahan kimia lain seperti zat higroskopis seperti garam, CaC12, dan urea. Garam dan CaC12 ditaburkan ke awan yang ada di langit dengan pesawat terbang, kecuali urea. Setelah ditaburkan, bahan kimia tersebut akan mempengaruhi awan untuk berkondensasi dan membentuk awan yang lebih besar dan mempercepat terjadinya hujan. Setelah garam atau CaC12 yang berhasil membuat awan berkondensasi, taburkan bubuk urea. Urea ini membantu dalam pembentukan awan besar dan berwarna abu-abu. Urea ditaburkan pada siang hari. Setelah awan hujan terbentuk, larutan bahan kimia kemudian ditaburkan kembali. Larutan tersebut adalah air, urea, dan amonium nitrat. Larutan ini untuk mendorong awan hujan membentuk butir air. Dampak positif hujan buatan
Proses pembuatan hujan buatan ini tentu memiliki dampak positif dan negatif. Termasuk biaya yang diperlukan pun tidak dalam jumlah yang sedikit. Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau lebih dikenal hujan buatan ini memiliki dampak positif, seperti dapat mengatasi kekeringan, dapat mengatasi masalah kabut asap akibat kebakaran hutan, dapat dimanfaatkan untuk memadamkan api pada kebakaran hutan yang cakupannya luas, dapat membantu pengisian air waduk atau danau untuk keperluan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, dan lainnya.
Namun ada juga dampak negatifnya seperti jika tidak diperhitungkan takarannya, bahan kimia yang digunakan untuk hujan buatan bisa menimbulkan hujan asam dan berbahaya bagi yang terkena airnya. Bisa menimbulkan pencemaran tanah, karena hujan buatan biasanya mengandung garam dalam jumlah yang banyak. Dapat mengakibatkan banjir jika tidak tepat sasaran. Dapat merubah siklus hidrologi yang akan membahayakan pasokan air tanah di musim kemarau, dan dapat menimbulkan kerugian materi yang cukup besar jika hujan turun dari hasil hujan buatan yang tidak tepat sasaran.
“ Oleh karena itu setiap warga hendaknya bisa mengambil hikmah atas kejadian ini. Jangan sampai musim kemarau menyebabkan sulitnya mendapatkan air, dan saat musim hujan menyebabkan banjir. Disinilah perlunya membangun kesadaran kolektif dan menanggalkan ego pribadi. Apalagi jika merunut pada prediksi para ahli yang memperkirakan di masa depan masyarakat akan semakin mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Disnilah pentingnya reboisasi, sumur resapan atau biopori, menjada sumber mata air, dan lain – lain harus terus diingatkan pada setiap warga “, pungkas Dede.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar