Bregasnews.com - “ Setiap prajurit pada dasarnya adalah manusia juga, artinya tetap memilikiketerbatasan kemampuan pada titik tertentu sebagaimana sering saya bahas ketika menjelaskan tentang ‘Human Performance and Limitation’. Perbedaannya dengan masyarakat sipil biasa tentu ada, karena setiap prajurit relatif sudah terlatih dan teruji baik saat pendidikan maupun pengalaman dalam mengemban misi saat melaksanakan tugas –tugas operasi. Inilah yang membedakan kenapa mereka memiliki kemampuan di atas rata – rata, baik dari aspek fisik maupun mentalnya. Disini ada dua aspek penting sebenarnya, yaitu bagaimana konsep dasar membangun mental yang tangguh dan bagaimana memelihara kondisi mental yang tangguh tersebut. Patut diingat bahwa prajurit sebagai manusia biasa memiliki banyak kebutuhan dan persoalan hidup lainnya, sehingga seringkali tidak disadari terjadinya penurunan kinerja mental karena berbagai faktor. Baik berbagai faktor kehidupan di masa damai, terlebih lagi di medan pertempuran “, Ujar Pemerhati Hankam Dede Farhan Aulawi di Bandung, Selasa (19/3).
Menurutnya, kemajuan peradaban yang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi di satu sisi memfasilitasi umat manusia dengan serba kemudahan, tetapi di lain sisi juga tidak setiap orang bisa mengikuti dan mengimbangi irama perubahan yang super cepat ini. Bahkan dalam kondisi tertentu, keadaan terkadang bisa menimbulkan ekses berupa stres dan situasi ekstrem yang mengharuskan seseorang mengambil keputusan cepat dan bertindak efektif dalam kondisi yang penuh risiko. Mengatasi situasi ekstrim dengan waktu yang sangat limitatif untuk mengambil keputusan dengan tingkat resiko minimal memerlukan pengetahuan dan keterampilan pengambilan keputusan seorang prajurit yang profesional. Disinilah kompetensi dan ketangguhan mental akan menjadi kata kunci, agar bisa tetap berfikir jernih dan tenang dalam waktu yang singkat.
Salah satu konstruksi psikologis yang menjelaskan kemampuan kepribadian dalam menahan pengaruh berbagai stresor disebut “hardiness”. Hardiness adalah gaya psikologis yang terkait dengan ketahanan, kesehatan yang baik, dan kinerja dalam berbagai kondisi stres. Sifat tahan banting dipandang sebagai sumber daya pribadi dan konstruksi sistem kepercayaan yang dimiliki seseorang. Sumber daya ini berisi sikap dan keterampilan yang memungkinkan mampu mengambil risiko, memperkaya potensi mental, dan mengatasi tekanan, sehingga menghasilkan peluang baru untuk pengembangan pribadi. Struktur hardiness mencakup tiga komponen utama yaitu “komitmen”, “kontrol” dan “tantangan”. Ini berisi nilai-nilai inti seperti kerjasama, kredibilitas, dan kreativitas.
Orang yang memiliki sifat tahan banting yang tinggi memiliki komitmen yang kuat terhadap kehidupan dan tanggung jawab profesi, dan secara aktif terlibat dalam apa yang terjadi di sekitarnya. Artinya ada kepedulian dan kepekaan terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Mereka percaya bahwa mereka dapat mengendalikan atau mempengaruhi apa yang terjadi, dan mereka menikmati situasi dan tantangan baru. Selain itu, mereka termotivasi secara internal. Oleh karena itu, hardiness dapat dianggap sebagai kesiapan psikologis seseorang untuk bertindak aktif dan mengatasi kesulitan dalam kondisi berisiko tanpa adanya jaminan kesuksesan. Hal ini tentu tidak semudah seperti mengucapkannya, karena membutuhkan latihan dan ujian di medan kesulitan. Perlu diingat bahwa situasi dan risiko ekstrem merupakan komponen integral dalam pengerahan pasukan tempur. Hampir setiap prajurit mengalami stres tempur dalam kondisi ini. Stres tempur para prajurit dimulai sebelum kontak langsung dengan musuh dan berlanjut hingga mereka meninggalkan zona penempatan tempur. Ancaman terus-menerus terhadap kesehatan dan kehidupan, perubahan situasi pertempuran, beban super berat dan berkepanjangan yang melebihi batas kemampuan manusia, hilangnya kawan, kekerasan brutal terhadap musuh secara signifikan mempengaruhi kesehatan mental para prajurit. Selama pertempuran, 75-80% prajurit mengalami reaksi stres akut jangka pendek, disertai hilangnya sebagian atau seluruh efektivitas tempur. Untuk meningkatkan ketahanan tersebut diperlukan tingkat kesiapan menghadapi risiko yang tinggi, yang akan berkontribusi pada keberhasilan pelaksanaan misi dalam kondisi pertempuran (ekstrim).
Dalam konteks inilah, model dan kerangka pembinaan mental prajurit menjadi sangat penting bagi para komandan pasukan untuk membantu memvisualisasikan pandangan strategis dan lingkungan operasi. Mereka memberikan referensi umum tentang 'cara kita memandang dunia'. Model mental yang umum mencakup spektrum perang damai dan spektrum konflik. Disinilah kekuatan fisik akan diintegrasikan dengan ketangguhan dan ketahanan mental, serta pola pikir yang teguh. Oleh karenanya harus mempersiapkan diri secara mental dalam menghadapi tantangan setiap saat apa yang sedang dan akan terjadi di depan. Tidak ada jalan lain.
Dengan demikian model kesiapan psikologis prajurit yang diturunkan secara empiris untuk mengambil risiko selama penempatan tempur menjadi salah satu objek riset yang sangat menarik guna menemukan satu formula yang jitu sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Model yang umum dikembangkan menggunakan metode diferensial semantik, peer review, dan analisis faktor. Landasan teorinya adalah konsep “ketahanan” yang mencakup empat komponen, yaitu “Kemampuan untuk melakukan mobilisasi”, “Persaudaraan prajurit”, “Identitas profesional”, dan “Pengendalian diri (daya tahan)”. Isinya mencakup bidang emosional-kehendak, kognitif, motivasi, moral, aktif-praktis, eksistensial, dan interpersonal-sosial individu. Peran utama dalam model ini dimiliki oleh sifat berkemauan keras, kohesi tempur, patriotisme, dan sumber daya adaptif individu, yang memungkinkan untuk mempertahankan efektivitas aktivitas tempur prajurit dalam kondisi berisiko.
Dasar dari kesiapan psikologis prajurit untuk aktif bertindak dan mengatasi kesulitan dalam kondisi berisiko (ketidakpastian, ancaman langsung terhadap kesehatan dan kehidupan) dengan tidak adanya jaminan keberhasilan yang dapat diandalkan adalah sifat tahan banting. Disinilah pentingnya mengembangkan strategi dukungan psikologis pada periode pasca penempatan guna mengurangi kerugian psikogenik selama masa konflik.
“ Basis pengembangan model pembinaan mental prajurit ini pada umumnya menekankan pasa aspek Pengembangan Dorongan Batin (Spiritual Support), Merangkul Ketidaknyamanan dan Cara Mengatasi Hambatan, Model Penetapan Tujuan, Visualisasikan Kesuksesan dan Bangun Kepercayaan Diri, Kuasai Self-Talk dan Ketahanan Mental, Temukan Ketenangan dalam Kekacauan Pertempuran, Membingkai Ulang Tantangan sebagai Peluang, Kusai Reaksi dan Tetap Percaya Diri, serta Menumbuhkan Kerjasama dan Galang Persatuan. Inilah penekanan materi dalam kegiatan pembinaan mental prajurit di beberapa negara. Termasuk doktrin tempur bagi para pasukan komando “, pungkas Dede.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar