Dede Farhan Aulawi, Pentingnya Mengembangkan Keterampilan Diplomasi Penegakan Hukum - bregasnews.com - Koran Online Referensi Berita Pantura

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Rabu, 14 Oktober 2020

Dede Farhan Aulawi, Pentingnya Mengembangkan Keterampilan Diplomasi Penegakan Hukum



Bregasnews.com - “ Kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat saat ini, di satu sisi banyak membantu kebutuhan umat manusia tapi di sisi lain menimbulkan beberapa permasalahan baru. Termasuk munculnya kejahatan – kejahatan baru yang memanfaatkan penggunaan teknologi tersebut. Dampak ini dirasakan bukan hanya di dalam negeri saja, tetapi juga sudah memanfaatkan jaringan di luar negeri dengan segala perangkatnya guna menunjang kelancaran tindak kejahatan yang mereka lakukan. Format dan modusnya bisa jadi berbeda, tetapi substansinya tetap sama yaitu meyakinkan modus operansi dan mempersulit proses pelacakan. Meskipun ada suatu adagium bahwa “Tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan bekas (petunjuk)”, tetapi setidaknya akan mempersulit proses pengembangan penyelidikan ataupun penyidikan karena menyangkut biaya, waktu, dan juga sistem hukum pidana yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Dampak adanya perbedaan sistem hukum pidana antara satu negara dengan negara lainnya tersebut mengakibatkan timbulnya kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing negara menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam penanganan kejahatan. Hal yang sama terjadi pula pada negara lain, sehingga penanganan kejahatan menjadi lamban dan berbelit-belit. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya Mutual Legal Assistance (MLA) yaitu suatu bentuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana.  “, ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Profesi dan Teknologi Kepolisian (LP2TK) Dede Farhan Aulawi di Bandung, Rabu (14/10).


Selanjutnya Dede juga menjelaskan terkait dengan kendala yuridis dalam penanganan kejahatan transnasional terorganisasi sebagaimana disampaikan di atas, karena ada negara yang menganut Sistem Continental dan ada pula yang menganut sistem Anglo Saxon. Perbedaan besar terutama terdapat dalam sistem peradilan pidana yaitu ada yang menganut Due Process Model (DPM) yang lebih menitik beratkan pada perlindungan HAM bagi tersangka, sehingga menimbulkan birokrasi yang cukup panjang dalam peradilan pidana. Ada pula yang memilih Crime Control Model (CCM) yang lebih menekankan efisiensi dan efektivitas peradilan pidana dengan berlandaskan asas praduga tak bersalah. Belum lagi masalah yang terkait dengan kendala diplomatik karena terkait dengan kedaulatan suatu negara yang harus senantiasa dihormati. Ujar Dede.


Kemudian ia juga menambahkan bahwa Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang (money laundering), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap kejahatan memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance, hanya kejahatan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda (double criminality) saja yang memerlukan  penanganan  melalui Mutual Legal Assistance.


Adapun yang dimaksud dengan asas kejahatan ganda (double criminality) adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan (ekstradisi) yang mana merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua pihak. Baik negara yang meminta dan negara yang diminta. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 5 ayat (1) sub 2 menyatakan, “ Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam pidana “.


Pentingnya diterapkan Mutual Legal Assistance dalam penanganan kejahatan yang sifatnya double criminality tidak terlepas dari kenyataan bahwa pengaruh dari kejahatan ini dirasakan oleh lebih dari satu negara. Oleh karena itu,  penanganan kejahatan transnasional terorganisasi yang sifatnya sepihak (hanya oleh satu negara) hanya akan menimbulkan masalah lain yaitu dilanggarnya kedaulatan suatu negara. Article 18 Transnational Organized Crime Convention merupakan dasar hukum bagi lembaga Mutual Legal Assistance.


Dalam perundang-undangan nasional, kebutuhan akan perlunya dibentuk Mutual Legal Assistance dalam upaya pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, salah satunya diwujudkan dalam Pasal 44 Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan, “ Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan perundang-undangan “.


Mutual Legal Assistance memiliki ruang lingkup yang sangat luas sebagaimana diatur dalam article 18 Transnational Organized Crime, yaitu mulai dari proses pencarian bukti-bukti atau keterangan-keterangan berkaitan dengan kejahatan yang sedang diperiksa hingga pelaksanaan putusan, sehingga hal ini akan memudahkan dalam pengungkapan berbagai bentuk kejahatan. Jadi Mutual Legal Assistance memegang peranan yang sangat penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, khususnya berkaitan dengan kejahatan yang memenuhi asas double criminality sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1)  sub 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.


“ Dengan demikian, kemampuan kita untuk meningkatkan hubungan kerjasama luar negeri termasuk kerjasama dalam penanganan kejahatan transnasional tersebut sangat penting dan harus terus dilakukan. Apalagi kejahatan transnasional terorganisasi tersebut semakin lama semakin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karenanya penanganan kasus tersebut tidak bisa sendirian, melainkan harus melibatkan negara – negara yang terkait. Hal ini akan menjadi tantangan spesifik bagi aparat penegak hukum untuk terus mengembangkan kemampuan dalam diplomasi penegakan hukum “, pungkas Dede mengakhiri pandangan terkait maraknya kejahatan lintas negara akhir – akhir ini.(tm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Iklan Disewakan

Laman