Bregasnews.com - Kira – kira apa yang terjadi jika perubahan iklim terjadi sangat ekstrim, sehingga lahan – lahan pertanian mengalami gagal panen karena kekeringan lahan terjadi dimana – mana ? Saat orang benar – benar lemah dan lapar karena makanan sulit didapatkan, kira – kira ia akan memilih sebuah rumah mewah atau sepiring nasi ? Saat harga sekilo beras Rp. 1 juta, kira – kira berapa persen rakyat Indonesia yang masih mampu bertahan ? Mana yang harus menjadi prioritas, pembangunan fisik atau kecukupan pangan ? Dan tentu banyak lagi pertanyaan menggelitik lainnya terkait soal pangan ini. Jawaban sang idealis tentu akan menjawab, bahwa keduanya harus dilakukan secara paralel karena sama – sama pentingnya. Tapi ama mau dikata, faktanya lahan subur dan produktif, saat ini telah berubah menjadi jalan, pabrik, dan perumahan.
Hal inilah yang menjadi keprihatinan Pemerhati Ketahanan Pangan Dede Farhan Aulawi, sehingga dirinya sering bicara lantang mengingatkan akan pentingnya membangun infra struktur pertanian yang modern, cerdas dan berkesinambungan. Itu pula yang membuatnya sering diundang ke berbagai tempat sebagai narasumber ketahanan pangan yang selaras dan seimbang dalam penyusunan roadmap pembangunan. Di matanya gaung revolusi industri 4.0 dinilai belum termanfaatkan secara maksimal di bidang pertanian.
“ Bukan tidak ada yang memanfaatkannya, tetapi jumlah yang memanfaatkan teknologi tersebut di bidang pertanian relatif masih sangat sedikit. Padahal tingkat kebutuhan konsumsi pangan setiap tahun selalu meningkat, dan menuntut jawaban tegas dari kreator dan inovator pertanian yang berkolaborasi dengan teknologi dalam perlakuan simetrik untuk menjaga kelestarian umat manusia dan lingkungan “, ujar Dede.
Apalagi jika merujuk pada data Asian Productivity Organization Report pada tahun 2019 yang mencatat bahwa total faktor produktivitas Indonesia hanya mencapai 1 persen. Lalu yang 99 persen lagi pada kemana dan berada dimana ? Tidak mungkin ada meja kesejahteraan yang stabil, jika meja itu ditopang hanya oleh 1 kaki. Oleh karena itu dipandang perlu untuk membangun kolektivitas persepsi dan kerja keras yang sungguh – sungguh seluruh komponen bangsa. Jadi kata kuncinya adalah kualitas SDM. Berbicara kualitas SDM bukan hanya yang mahir dari sisi akademik formal saja, tetapi ia harus menjadi SDM yang mau turun ke bawah merasakan derasnya keringat panas saat di lahan pertanian, serta kotor – kotoran di lumpur pengabdian.
“ Indonesia sesungguhnya sudah banyak orang – orang hebat yang dilahirkan dari singgasana dan mimbar – mimbar akademik, tapi masih miskin yang mau turun dalam mendengar rintihan pedih kaum papa termarginalkan di emper – emper kehidupan. Lihat saja berapa ratus ribu sarjana yang diwisuda setiap tahunnya, tapi hanya beberapa orang saja yang masih mau berfikir tanpa harus selalu dikonversi ke dalam bentuk rupiah “, ujar sang maestro seni yang pernah dikenal sebagai penyair sejuta umat ini.
Kendati begitu, Dede tetap optimis dalam melihat masa depan pertanian Indonesia karena masih sering menemukan manusia – manusia yang ikhlas dalam memajukan sektor pertanian, termasuk pemanfaatan teknologi modern di bidang pertanian terebut. Aplikasi berbagai model tekonologi pertanian cerdas telah mulai banyak diterapkan. Hal ini mengindikasikan respons positif dalam mempersiapkan proses transisi menuju era pertanian modern. Pengembangan aplikasi teknologi pertanian cerdas dalam sistem pertanian terintegrasi juga dinilaisudah mulai berfungsi untuk optimasi sistem budi daya, penanggulangan hama dan penyakit, optimasi penggunaan sumber daya pertanian hingga peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian melalui penanganan pascapanen yang tepat.
“ Ternyata polesan pengetahuan teori saja tidaklah cukup, karena SDM pertanian juga dituntut memiliki kemahiran keterampilan serta kesholihan spiritual untuk menjaga keseimbangan alam. Pemanfaatan alam tidak berarti harus dieksploitasi secara habis – habisan, melainkan diperlukan kesholihan untuk menjaga keberlangsungan umat – umat selanjutnya. Otaknya tentu harus cerdas, namun tangannya juga harus dingin sehingga setiap tanaman yang ditanamnya mampu tumbuh subur di setiap lahan kemuliaan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Inilah kata kunci Human Capital pertanian yang berbasis pada produktivitas hasil, sehingga layak kembang secara ekonomi “, kata Dede.
Begitupun dengan jargon pertanian cerdas seperti yang sedang ramai dibicarakan saat ini, merupakan cara pertanian yang menggunakan platform yang terhubung dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Misalnya penggunaan telepon genggam untuk mengumpulkan berbagai informasi seperti kondisi lingkungan, status hara tanah, kelembapan udara, kondisi cuaca. Informasi dikumpulkan dari sensor-sensor di lahan pertanian. Kemudian dianalisis dalam pengambilan keputusan dalam pemberian air irigasi, distribusi unsur hara, dan sebagainya.
“ Tantangan bidang pertanian saat ini semakin berat, terutama terkait dengan tuntutan jumlah produksi pertanian dengan lebih banyak, kualitasnya harus lebih baik, inputnya lebih hemat, lebih bersahabat dengan alam, dan mempertimbangkan keberlanjutan. Tantangan utama ini muncul karena permintaan komoditas pertanian dan olahannya selalu meningkat, sementara laju konversi lahan pertanian ke non pertanian jua semakin kencang, yang memiliki arti bahwa lahan produktif semakin minim. Oleh karenanya Getahpalu berelaborasi mendesain arsitektur pertanian yang berorientasi pada kedaulatan pangan “, demikian kata Pembina Getahpalu Dede Farhan Aulawi saat mengakhiri percakapan di Bandung, Minggu (26/1).(tm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar