Bregasnews.com - Fakta empiris menunjukkan bahwa jumlah manusia dari waktu ke waktu terus meningkat, meskipun ada beberapa negara yang tingkat pertumbuhannya minus, akan tetapi jauh lebih banyak lagi yang pertumbuhannya plus. Jadi secara kumulatif tingkat pertumbuhan manusia di muka bumi ini masih plus, maka tingkat kebutuhan mereka akan pangan semakin meningkat. Namun demikian ada fakta empirik juga, bahwa luas lahan produktif di bidang pertanian semakin menyempit, maka jumlah produksi pangan akan berkurang. Inilah fundamental persoalan pangan di masa yang akan datang.
Dede Farhan Aulawi seorang Pemerhati Ketahanan Pangan Nasional ketika dihubungi melalui sambungan seluler di Bandung, Sabtu (18/1) mengatakan bahwa saat ini sangat diperlukan terobosan – terobosan kreatif untuk mengatasi persoalan pangan di masa yang akan datang. Sebelum krisis pangan benar – benar terjadi, harus dicari solusinya saat ini. Tidak perlu harus menyaksikan dulu jutaan rakyat kelaparan, lalu berdiskusi untuk mencari solusi. Genppari dan Getahpalu secara nyata sudah melakukan langkah – langkah antisipatif sebelum masalah terjadi. Ini yang disebut dengan “risk based thingking”, yaitu pemikiran dalam memecahkan masalah yang berlandaskan pada resiko yang akan terjadi di masa depan. Ujar Dede.
“ Konsep demplot – demplot agroponik yang saat ini sudah mulai dipraktekan di beberapa lokasi di tanah air, diyakini akan menjadi cikap bakal lahirnya konsep pertanian modern berbasis teknologi digital di tanah air. Sistem pertanian konvensional saat ini akan sangat berat memenuhi kebutuhan pangan sekian milyar umat manusia, karena luas lahan terbatas, jumlah produksi menurun, dan banyak terjadi perubahan iklim yang bisa berdampak pada peningkatan gagal panen komiditas pertanian. Oleh karena itu sekali lagi, sangat – sangat diperlukan terobosan dan ide kreatif yang implementatif dari para pemikir masa depan umat manusia “, jelas Dede.
Pertanian digital atau biasa juga dikenal dengan istilah pertanian cerdas (smart farm) pada dasarnya melakukan rekayasa sistem pertanian dengan memanfaatkan teknologi yang terintegrasi. Sistem pengairan, pemupukan, pencahayaan diatur secara otomatis sesuai dengan tingkat kebutuhan optimal asupan makanan yang dibutuhkan oleh tanaman secara efisien. Dalam konteks ini, prinsip ekonomi tetap berlaku bahwa total penghasilan harus lebih besar dari pada total modal investasi ditambah dengan biaya operasional dan biaya lainnya. Karena walaubagaimanapun daya tarik investasi tetp akan berlandaskan pada nilai kelayakan yang dihitung, baik menggunakan break event point, internal rate of return, net present value, dan lain – lain. Oleh karena itu, rekayasa genetika pertanian yang dimodifikasi dengan pemanfaatan teknologi diyakini bisa menjawab tantangan zaman ke depan.
Sebagai contoh riil, saat ini di Tiongkok ada suatu perusahaan di bidang pertanian yang berhasil menciptakan “smart farm” yang memungkinkan mereka menanam sayuran tanpa tanah dan sinar matahari alami. Teknologi ini juga dilanjutkan dengan uji coba di beberapa negara lain. Sayuran yang ditanam dengan metode konvensional membutuhkan sekitar 40-60 hari untuk mencapai tingkat kematangan tertentu alias siap panen, dan hal inipun masih tergantung pada kondisi cuaca. Sementara itu ‘pabrik sayuran’ milik Sanan Sino-Science mampu memanen beberapa varietas sayuran hanya dalam waktu 18 hari untuk sayuran berukuran kecil, dan 33-35 hari saja untuk sayuran yang lebih besar.
Dalam konteks ini, tentu semua fenomena di atas harus merangsang ide kreatif lanjutan di tanah air. Itulah sebabnya Gerakan Nasional Pecinta Pariwisata Indonesia (GENPPARI) bersinergi dengan Gerakan Ketahanan Pangan Keluarga (GETAHPALU) Nusantara merumuskan konsep ke dalam bahasa lapangan yang dibuktikan dengan terbentuknya beberapa demplot agroponik di tanah air. Ide ini akan terus mengalir dan menjadi banjir komoditas pangan untuk mewujudkan rakyat yang lebih sejahtera.
“ Orientasi akhir dari konsep pertanian digital ini, ingin mewujudkan kedaulatan pangan yaitu negara yang mandiri dan berdaulat dalam pangan sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu bukan hanya itu saja, karena setelah berdaulat pangan dalam negeri, Indonesia juga diharapkan bisa membantu bangsa di negara lain yang membutuhkan pangan “, pungkas Dede.(tm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar