Gugum RIdho Putra, S.H.,M.H
Bregasnews.com - Tanggal 18 November 2020 yang lalu, publik sempat ramai membicarakan terbitnya Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020. Sebagai sebuah arahan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, sebetulnya tidak ada hal yang terlalu signifikan dengan Instruksi Mendagri tersebut karena isinya bukan berisi hal yang sama sekali baru. Mendagri sekedar mengingatkan Kepala Daerah agar senantiasa konsisten mengambil langkah-langkah pencegahan penyebaran COVID-19 semakin meluas dan bukan justru sebaliknya. Instruksi Mendagri itu menjadi magnet bahasan publik bukan karena persoalan COVID-19, tapi justru karena diktum keempat dan kelima nya memuat peringatan bagi kepala daerah yang dapat diberhentikan karena melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Peringatan Mendagri soal pemberhentian itu memunculkan berbagai asumsi publik karena sebelumnya 2 (dua) kepala kepolisian daerah dijatuhi sanksi pemberhentian karena dianggap tidak menegakkan protokol kesehatan. Apakah mungkin kepala daerah juga dapat diberhentikan karena melanggar peraturan perundang-undangan mengatasi COVID-19? Bagi saya kemungkinan selalu saja dapat terjadi, hanya saja kita tetap perlu melihat bagaimana peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang wewenang dan prosedur pemberhentian itu.
Ihwal seluk beluk Pemerintahan Daerah telah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Sebagai undang-undang dengan 411 (empat ratus sebelas) pasal, UU Pemda telah mengatur banyak aspek, mulai dari proses pengisian jabatan, pengenaan hak dan kewajiban, proses pelantikan termasuk pula proses pemberhentian kepala daerah. Karena itu, benar tidaknya Instruksi Mendagri soal pemberhentian kepala daerah tentulah dapat dianalisa dengan mengacu kepada ketentuan pasal UU Pemda yang mengatur tentang itu.
Yang pasti, Pemerintah Pusat melalui wakil-wakilnya memang berwenang untuk melantik Kepala Daerah yang terpilih dalam suatu pemilihan langsung. Gubernur/Wakil Gubernur terpilih dilantik oleh presiden dan/atau Mendagri. Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota terpilih dilantik oleh Gubernur atau Wakil Gubernur atau oleh Mendagri jika keduanya berhalangan untuk melantik. Namun jangan lupa, Kepala Daerah yang terpilih itu adalah hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Karena nya, meski menjadi Pihak yang secara langsung melantik, tidak berarti Pemerintah Pusat dapat memberhentikan kepala daerah terpilih kapan saja. Mengapa? karena jabatan yang dipegang kepala daerah itu bukan pemberian Pemerintah Pusat.
Atas dasar itulah UU Pemda mengatur pemberhentian kepala daerah dengan alasan yang limitatif. Mencopot kepala daerah di tengah masa jabatannya hanya bisa dilakukan alasan dan proses hukum. Sepanjang ketentuan pasal 78 hingga pasal 89 UU Pemda yang mengatur tentang pemberhentian kepala daerah, hanya terdapat 3 (tiga) skenario hukum yang memungkinkan kepala daerah diberhentikan di tengah masa jabatannya. Skenario itu antara lain: (1)Pertama, apabila kepala daerah terbukti melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap melakukan tindak kejahatan yang diancamanpidana penjara minimal 5 (lima) tahun atau lebih. (2)Kedua,apabila kepala daerah itu diusulkan pemberhentian oleh DPRD atau diusulkan pemberhentian berdasarkan hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat kepada Mahkamah Agung dan dinyatakan terbukti menurut hukum. (3)Ketiga, apabila kepala daerah yang bersangkutan, setelah dibuktikan oleh lembaga yang berwenang dan dilanjutkan penyelidikan melalui Hak Angket DPRD atau setelah dilakukan Pemeriksaan oleh Pemerintah Pusat, terbukti menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan saat pencalonan kepala daerah.
Dari semua kemungkinan yang ada, hanya ada 3(tiga) skenario hukum yang dapat memberhentikan kepala daerah di tengah-tengah masa jabatannya. Jika dicermati secara seksama, ketiga skenario hukum ini semuanya hanya dapat ditempuh dengan suatu proses hukum dan melibatkan lembaga pengadilan dalam proses pembuktiannya. Misalnya terhadap sebagai pelaku kejahatan yang ancamannya minimal 5 (lima) tahun. Proses hukum harus dimulai dari tingkat penyelidikan dan penyidikan di kepolisian. Kemudian dilanjutkan pelimpahan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di persidangan Pengadilan. Begitupun pengusulan pemberhentian oleh DPRD ataupun atas hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat juga masih harus dilanjutkan dengan penilaian oleh Mahkamah Agung dan jika memang terbukti, Mahkamah Agung akan menuangkan sikap nya atas usul pemberhentian itu dalam suatu putusan yang bersifat final.
Begitupun dengan skenario yang ketiga soal tuduhan menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu saat pencalonan. Membuktikan dokumen atau keterangan palsu itu juga harus melalui proses peradilan. Meskipun telah ada putusan Pengadilan berkekuatan tetap untuk itu, pengusulan pemberhentian hanya dapat dilakukan pasca DPRD melakukan penyelidikan melalui Hak Angket. Jikapun DPRD tidak melakukan menggunakan Hak Angket untuk melakukan penyelidikan, Pemerintah Pusat dapat meneruskan proses pemberhentian Kepala Daerah, namun terlebih dahulu harus mengambil alih penyidikan DPRD itu dengan menggelar pemeriksaan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan. Akantetapi seperti halnya penyidikan DPRD, pemeriksaan kepala daerah oleh Pemerintah Pusat itu harus berbekal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Tanpa adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, proses pemeriksaan itu tidak dapat dilanjutkan.
Pada intinya, dilihat dari sudut manapun, Removing Local Government Officials from his office, can only be done by law. Pemberhentian kepala daerah di tengah masa jabatannya hanya bisa dilakukan dengan alasan dan melalui proses hukum. Dari sini kita dapat memahami bahwa Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 yang mengingatkan soal pemberhentian kepala daerah itu sebetulnya tidaklah keliru sepanjang kita membaca dan memaknainya selaras dengan ketentuan UU Pemda. Instruksi Mendagri tidak pernah menyebut Pemerintah dapat memberhentikan kepala daerah secara langsung. Diktum kelima Instruksi mendagri hanya menyebutkan “berdasarkan instruksi pada Diktum Keempat, kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi pemberhentian”.
Diktum keempat sendiri berisi uraian ketentuan pasal dalam UU Pemda, sehingga dengan penafsiran sistematis yang menghubungkan kedua ketentuan itu dapatlah kita katakan bahwa Instruksi Mendagri sejatinya juga mengaminkan prosedur pemberhentian Kepala Daerahi hanya dapat dilakukan dengan menempuh proses hukum, sebab rujukan yang dipergunakannya juga adalah UU Pemda itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar