Dede Farhan Aulawi Narasumber Respon Dinamika Tantangan Tugas Kepolisian - bregasnews.com - Koran Online Referensi Berita Pantura

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Kamis, 24 Agustus 2023

Dede Farhan Aulawi Narasumber Respon Dinamika Tantangan Tugas Kepolisian



Bregasnews.com - “ Tugas pokok Polri menurut UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri adalah harkamtibmas, gakkum, dan linyomyanmas. Implementasi pelaksanaan tugas pokok tersebut dari tahun ke tahun akan semakin berat karena dipengaruhi banyak faktor diantaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mengantarkan umat manusia kepada banyak hal yang baru. Termasuk perkembangan teknologi informasi yang semakin masif dan mempengaruhi perilaku dan kebiasaan serta cara pandang terhadap sesuatu juga bisa berubah. Seorang futurolog bernama Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) mengatakan bahwa siapa yang menguasai informasi akan menguasai dunia “, ujar Pemerhati Kepolisian Dede Farhan Aulawi di Bogor, Rabu (23/8).


Hal tersebut ia sampaikan setelah melaksanakan kegiatan in house training untuk meningkatkan kemampuan tugas di Polres Bogor untuk para pejabat utama polres, para Kapolsek dan perwira lainnya, atau bintara senior yang menduduki jabatan perwira. Pada kesempatan tersebut ia datang bersama Kabid Humas Polda Jabar Kbp. Ibrahim Tompo, SIK, MSi dan Tim. 


Menurutnya dalam praktik saat ini, big data yang diolah dengan menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan juga bisa mengarahkan ”wujud” dunia setiap manusia menjadi kustom sesuai dengan preferensinya. Manusia hidup dalam dunianya sendiri, dunia yang didasarkan informasi dan fakta yang hanya ingin diterimanya. Termasuk bagaimana peran media sosial dan personalisasi informasi bisa mempengaruhi opini publik terhadap seseorang atau institusi tertentu. Coba lihat bagaimana media sosial ikut berperan dalam pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat pada 2016. Bukan karena efektivitas pemasaran digital oleh media sosial semata, melainkan juga karena kelebihannya dalam hal personalisasi informasi yang sejatinya diciptakan untuk membantu banyak penggunanya.


“ Instrumen inilah yang tampaknya akan banyak dimainkan pula oleh para desainer informasi dalam mengolah dan membentuk opini publik dalam pemilu dan pilkada serentak 2024 nanti. Salah satu dampaknya, informasi-informasi yang menyesatkan, tetapi disukai dan secara terus-menerus diterima oleh setiap individu selanjutnya diyakini sebagai informasi atau bahkan fakta yang sesuai dengan preferensinya, dengan mengabaikan yang lain. Akibatnya, setiap individu bisa hidup dalam dunianya sendiri tanpa harus mengalami gangguan sosial terlebih dahulu. Orang-orang tersebut normal, tetapi cara berpikirnya distimulasi secara simultan oleh algoritma komputer, yang awalnya didasarkan pada preferensi dan rekam jejaknya sendiri “, imbuh Dede.


Karena itu, semakin lama dalam menerima informasi – informasi yang gencar diterima, kepercayaannya terhadap informasi dan fakta tertentu jadi semakin besar, bahkan diyakini sebagai kebenaran. Pihak lain yang menyuarakan berbeda akan dianggap sebagai pembohong atau bahkan musuh yang harus dilawan.


Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa dengan berbagai informasi dan berita tersajikan dalam kuantitas yang besar dan bisa dengan mudah diperoleh di dunia digital saat ini, muncul pertanyaan, informasi apa saja yang sudah dibacanya? Begitu juga ketika misalnya seorang pejabat menyampaikan bahwa data yang diperolehnya menunjukkan adanya keinginan yang kuat dari masyarakat untuk memperpanjang masa jabatan pemimpin nasional, yang berbeda dari banyak survei, memunculkan pertanyaan dari mana data yang menjadi acuannya? Apakah kita memiliki kesulitan dalam mengolah data yang banyak tersedia di sekitar? Apakah ada kesalahan dalam prosesnya mengubah data menjadi informasi? Ataukah kita hanya mau menelan data yang sesuai preferensi kita sehingga akhirnya menyebabkan halusinasi fakta?


Kemudian Dede juga menguraikan bahwa pemanfaatan berbagai hasil karya digital yang tercipta pada abad ini tidak hanya menuntut literasi digital dalam wujud penguasaan teknis, tetapi juga kesadaran dan pemikiran kritis bahwa kebenaran tidak lagi mutlak. Masih ada kebenaran yang lain di sisi yang berbeda, atau jangan-jangan kepercayaan kita hanyalah kebenaran sebagian (half truth) yang patut dievaluasi.


Sebuah obat mungkin terasa pahit, tetapi dampaknya bisa menyembuhkan. Menyadari bahwa kebenaran tidak hanya yang diinginkan, mungkin akan mengurangi kebahagiaan yang selama ini dirasakan. Namun, tanpa kesadaran tersebut, kita tidak akan pernah menghentikan halusinasi fakta. Pengolahan data, baik besar maupun kecil, menjadi informasi sangat tergantung dari prosesnya. Ketika prosesnya salah atau menyimpang, informasi yang dihasilkan juga bisa berbeda. Big data bukanlah segalanya, terutama ketika kita dibutakan oleh kebenaran yang berbeda di luar sana dan menolak untuk memprosesnya menjadi informasi yang komprehensif.


“ Merunut dari berbagai fenomena dan kejadian empirik yang terjadi di lingkungan publik dalam gelombang besar era informasi saat ini, bisa dibayangkan seberapa besar potensi terjadinya misinformasi maupun mispersepsi akibat misliterasi yang bisa menjadi konflik. Itulah yang menandai berbagai berita hoaks yang sengaja dibuat oleh oknum – oknum tertentu sehingga menimbulkan ambigu kolektif dan bisa menyesatkan pola fikir dan pola tindak. Disinilah tantangan tugas kepolisian semakin berkembang untuk meracik dan meramu sebuah strategi komprehensif dalam mewujudkan situasi kamtibmas menjadi sangat penting sekali. Muara akhirnya akan tertuju pada pemenuhan kompetensi personil dari masing – masing satker sesuai dengan tupoksi masing – masing. Oleh karenanya jemput bola berupa in house training menjadi obat mujarab saat ini dalam merespon dinamika tantangan tugas keamanan yang sangat dinamik “, pungkas Dede.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Iklan Disewakan

Laman