Peran Ilmu Psikologi Dalam Pencegahan Kecelakaan Sesuai Teori ‘The Dirty Dozen’ - bregasnews.com - Koran Online Referensi Berita Pantura

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Minggu, 07 Januari 2024

Peran Ilmu Psikologi Dalam Pencegahan Kecelakaan Sesuai Teori ‘The Dirty Dozen’



Bregasnews.com - “ Hampir setiap terjadinya kecelakaan yang cukup menonjol di tanah air, saya sering ditanyai oleh banyak awak media ataupun pihak terkait lainnya untuk meminta pendapat terkait hal tersebut. Muara pertanyaan secara umum menyangkut penyebab terjadinya kecelakaan. Masyarakat pada dasarnya ingin memperoleh jawaban yang pasti dan secepatnya, tetapi kaidah dalam melakukan investigasi kecelakaan itu tentu tidak bisa grasa grusu karena ada kaidah, tahapan dan metodologi yang harus dilakukan dengan benar. Tidak sedikit juga orang yang tidak paham lalu memberikan komentar sesuai dengan persepsinya, sehingga yang terlontar ke masyarakat menjadi berita yang berbasis pada asumsi dan praduga. Dalam kaidah ilmiah tentu tidak bisa begitu, karena ada nilai – nilai kebenaran yang harus dipegang teguh berdasarkan fakta – fakta yang objektif “, ujar Pakar Keselamatan Transportasi yang juga Human Factors Refresentatif Trainner Dede Farhan Aulawi di Bandung, Minggu (7/1).


Pada kesempatan ini ia menjelaskan tentang besarnya peran ilmu psikologi dalam mencegah kecelakaan, termasuk saat melakukan investigasi bilamana terjadi suatu kecelakaan. Hal inilah yang masuk kajian Human Factors yang meliputi berbagai isu tentang persepsi, fisik dan kapabilitas mental, interaksi dan efeknya pada individu di pekerjaan dan lingkungan pekerjaan mereka, dan bagaimana pengaruh peralatan dan desain sistem pada kinerja seseorang dan pada akhirnya karakteristik organisasi yang mempengaruhi keamanan terkait perilaku di tempat kerja.


“ Bahkan seorang pakar Transportasi dari Canada yang bernama Prof. Gordon Dupont  menyampaikan teori The Dirty Dozen, yaitu 12 faktor yang berpengaruh pada manusia di lingkungan kerjanya. Pada awalnya teori ini diadopsi di dunia penerbangan, tetapi selanjutnya berkembang dan bisa diterapkan juga di bidang yang lainnya. Kedua belas faktor tersebut yaitu lack of communication (kurangnya komunikasi), complacency (kepuasan), lack of knowledge (kurangnya pengetahuan), distraction (gangguan), lack of teamwork (kurangnya kerjasama), fatigue (kelelahan), lack of resources (kurangnya sumber daya), pressure (tekanan), lack of assertiveness (kurangnya ketegasan), stress, lack of awareness (kurangnya kesadaran), dan norms (norma) “, imbuh Dede menambahkan.


Berdasarkan teori “the dirty dozen” ini bisa dilihat bahwa di dalam faktor-faktor tersebut terdapat aspek psikologis. Aspek psikologis tersebut berupa fatigue (kelelahan), dimana ini seringkali dikaitkan dengan perasaan lelah dan  menurunnya kemampuan individu dalam mempertahankan kinerja karena terganggunya siklus biologis tubuh. Distraction (gangguan), dimana individu akan kesulitan menjaga fokus dan produktivitasnya. Lack of assertiveness (kurangnya ketegasan), dimana individu tersebut kurang memiliki kemampuan mengatakan perasaan dan pikirannya. Stress, dimana ini merupakan respon tubuh yang bersifat non-fisik terhadap setiap tuntutan beban individu. Lack of awareness (kurangnya kesadaran), dimana individu gagal dalam mengenali kondisi dan situasi di sekitarnya. Kemudian complacency (kepuasan), dimana merupakan kegagalan untuk mendeteksi kesalahan atau waktu respons yang lambat dalam mendeteksi kesalahan.


Lack of Communication, kurang adekuatnya proses komunikasi profesional yang berpotensi untuk menimbulkan kondisi mispersepsi dan misinterpretasi yang lebih mengedepankan asumsi dan opini pribadi yang memiliki keterbatasan fisiologi. 


Complacency, kepuasan dan kebanggaan diri yang berlebih (over pride) yang dapat menimbulkan ekses berupa rasa percaya diri berlebih yang berpotensi menimbulkan kelalaian dan pengabaian terhadap regulasi tertentu karena merasa sudah sangat menguasai tugas yang dilakukannya. 


Distraction, dimana dalam proses menjalankan tugas terkadang seseorang melakukan kegiatan lain secara paralel. Misal penggunaan piranti seluler untuk berkomunikasi non dinas, berselancar, chat, atau bahkan melakukan kegiatan bisnis yang tentu saja dapat mengalihkan derajat atensi dan konsentrasi pada tugas utama yang tengah dikerjakan. Distraksi juga dapat disebabkan oleh masalah pribadi, kondisi lingkungan kerja, dan berbagai aspek interaksi sosial lainnya. 


Lack of Knowledge, kurangnya pengetahuan, pengalaman, dan proses pendidikan serta pelatihan yang tidak adekuat ditandai antara lain dengan minimnya pengetahuan akan panduan dari regulasi pekerjaan, aturan dinas, serta rendahnya pemahaman terhadap situasi dan kondisi dalam ruang lingkup pekerjaan.


Lack of Team Works, rendahnya kapasitas komunikasi profesional dapat menjurus pada terjadinya silo ataupun hambatan dalam membangun kerjasama tim yang melibatkan hubungan profesional lintas personal dan unit kerja. Pola pikir yang hanya berorientasi pada tugas pribadi dan tujuan unit dapat membuat flow proses dalam algoritma fungsi dalam pencapaian tujuan utama tidak tercapai karena tidak adanya kesepahaman di antara unit-unit strategis di dalamnya. 


Fatique, kelelahan dan kejenuhan fisik dan psikis dapat berakibat pada menurunnya kapasitas fisiologis seseorang. Atensi, konsentrasi, daya analitik, kesadaran situasi, pembentukan persepsi, sampai respon berupa aksi dapat tidak sejalan dengan regulasi ataupun kondisi riil yang dihadapi. 


Kondisi fatique terkait erat dengan aspek ergonomi, juga profil biologis dari petugas yang berdinas. Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh waktu dan durasi pekerjaan, tingkat kebugaran, situasi dan kondisi lingkungan pekerjaan, tingkat tekanan dalam pekerjaan, dll. 


Norms atau norma, yaitu kondisi yang berkembang dalam proses pelaksanaan tugas profesi. Tidak termaktub sebagai nilai formal dalam sebentuk SOP yang dapat dinilai aspek compliance nya, akan tetapi menjadi bagian yang kadang maujud dalam spirit komunal di lingkungan pekerjaan dan dapat menjadi gangguan utama dalam aspek compliance terhadap aturan. Norms atau kondisi yang dianggap normal misalnya dapat terjadi dalam cara mengelola dan menyelesaikan masalah dengan cara tertentu yang tidak ada di SOP atau Peraturan Dinas. Sekilas tampak solutif dan inovatif, akan tetapi sebenarnya dapat membahayakan karena aspek resiko dan dampak sistemik belum terukur dan terkendali. Berdasar norms biasanya dilakukan langkah-langkah praktis yang kemudian menjadi kebiasaan di lingkungan pekerjaan, meski tak sejalan dengan panduan tugas dalam konteks kedinasan. 


Lack of Awareness, kurangnya kesadaran terhadap dinamika perubahan di lingkungan pekerjaan karena rutinitas yang telah dilakukan. Terutama pada pekerjaan yang tugasnya bersifat repetitif atau berulang dan condong bersifat mekanistik. Kondisi lack of awareness ini dapat membuat petugas tidak peka terhadap berbagai gejala dan anomali yang terjadi, yang memiliki potensi untuk menimbulkan masalah besar yang mengganggu sistem operasi ataupun berbagai fungsi lainnya. 


Stress, manajemen stress berupa proses koping dan meminimalisir stressor adalah salah satu kapasitas penting dalam mengoptimalkan peran profesional seseorang. Stress akut dan kronis dapat mempengaruhi kinerja otak dan sistem mental manusia melalui jalur psikoneuroimunologi sebagaimana teorinya diusung oleh Hans Selye. Peningkatan kadar hormon stress seperti ACTH, kortisol, dan epinefrin dapat berdampak pada perubahan kinerja sistem syaraf, termasuk pada sistem pengambilan keputusan yang akan lebih bersifat impulsif dan bersifat defensif dalam mode survivalitas. Keputusan yang biasanya terburu-buru, miskin pertimbangan, dan melibatkan hanya dari satu perspektif yang bersifat subjektif.


Pressure, atau tekanan sebenarnga merupakan bagian terintegrasi dari stress dan stressor (penyebab stress). Tekanan dapat bersifat sistemik dari tuntutan pekerjaan, dan dapat pula bersifat organik yang lebih disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang membelit personel yang bersangkutan. Di era digital seperti saat ini tekanan dapat datang dari adanya hutang pinjaman daring ataupun berbagai kondisi sosial lainnya yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja seseorang. 


Lack of Resources, atau kekurangan sumber daya. Dalam konteks ini sumber daya dapat dibagi dalam sumber daya manusia dan sumber daya pendukung, termasuk di dalamnya adalah sarana dan prasarana kerja. Kurangnya jumlah personel akan menimbulkan kelelahan dan beban tugas yang berlebihan. Sedangkan kurang mumpuninya sumber daya berupa infrastruktur kerja akan menghambat aktivitas profesional dan berpotensi untuk menimbulkan penurunan kapasitas dan kinerja dari personel yang bersangkutan. 


Lack of Assertiveness, dalam konteks human factor, lack of assertiveness biasanya terkait erat dengan situasi lingkungan kerja, model kepemimpinan, dan konsep komunikasi profesi terkait. Kebuntuan komunikasi dan gaya kepemimpinan yang kurang mengakomodir saran, pendapat, ataupun keluh kesah dari tim biasanya akan  berdampak pada menggejalanua sifat asertif yang cenderung enggan untuk mendiskusikan atau membicarakan masalah profesi yang tengah dihadapi. Akibatnya tentu saja kondisi ini dapat memantik terakumulasinya permasalahan yang telah berlangsung secara kronik dan dapat memicu terjadinya masalah sistemik dengan dimensi persoalan yang di luar prakiraan.


“ Itulah penjelasan yang cukup lengkap mengenai teori The Dirty Dozen yang sering diterapkan saat melakukan pendekatan untuk melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya accident ataupun incident. Dalam beberapa kondisi, item – item tersebut juga sering dijadikan rujukan sebagai variable – variable yang harus diperiksa saat melakukan investigasi kecelakaan. Semoga bermanfaat bagi yang mau membaca dan mempelajarinya agar moda transportasi di Indonesia semakin aman dan nyaman guna menunjang aktivitas seluruh masyarakat “, pungkas Dede.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Iklan Disewakan

Laman