Oleh : Dede Farhan Aulawi
Bregasnews.com - Berbagai keindahan pesona Indonesia nampaknya tidak akan selesai untuk dibahas dalam sketsa kepariwisataan. Itulah sebabnya tidak sedikit orang yang berani merogoh kocek agak dalam untuk sekedar melihat keindahan alam. Lihat saja betapa banyak orang dari berbagai belahan dunia yang berkunjung ke daerah utara Rusia, AS, dan negara - negara scandinavia hanya untuk melihat fenomena alam yang disebut Aurora. Padahal di langit Indonesia kala senja pun seringkali kita temui aneka keindahan langit, yang dalam bahasa Sunda di sebut Muru Layung. Salah satu keindahan yang mudah didapat adalah keindahan senja di Bojongsari kecamatan Culamega kabupaten Tasikmalaya.
Fenomena tersebut mungkin oleh sebagian orang dianggap sebagai fenomena bisa semata, tapi bagi sebagian yang lain mengusik fikiran untuk mengkaji dalam perspektif yang ilmiah atau disebut pendekatan Saintifik.
Terkait hal tersebut, jadi teringat tulisan seorang sahabat DR. Tauhid yang pernah menjelaskan sebuah fenomena alam dengan gamblang. Beliau memulai cerita dari suatu senja di penghujung September 1815, di tepian London, di desa Turnbridge Wells tepatnya, Thomas Forster seorang pengamat meteorologi takjub melihat fenomena langit sore yang tak biasa. Langit seolah memerah dengan kolom-kolom cahaya merah biru tampak menyebar sedemikian rupa. "Fenomena atmosfers apakah ini gerangan ?" Mungkin demikian terlintas tanya di benaknya.
Sebagai pengamat langit yang telaten dan cermat, wajar jika Forster keheranan. Setengah takjub mungkin lebih tepat.
Fenomena yang dilihat Forster di London dan juga banyak pengamat langit lainnya di Eropa,.seperti David Freidrich di Jerman kini dapat didefinisikan sebagai perubahan densitas atmosfer yang menimbulkan efek optis. Kepekatan kromis akibat peningkatan kandungan material aerosolik di atmosfer telah mengubah pola sebaran spektrum cahaya matahari yang menembusnya. Pembiasan yang terjadi telah menghasilkan teater cahaya yang langka di langit Eropa.
Peningkatan sebaran partikel di lapisan atmosfera dapat menjadi salah satu penyebabnya. Demikian pula perubahan suhu dan berbagai faktor fisika kimia lainnya tentu juga dapat menjadi variabel pengaruh.
Perubahan itu dapat terjadi di berbagai lapisan atmosfera, mulai dari lapisan troposfer yang terletak di ketinggian antara 0 sampai dengan 8 km di atas kutub dan sampai 15 km di atas khatulistiwa, dimana komposisi gas penyusun atmosfer secara teoritis masih terdiri dari 78% Nitrogen (N2), 21% Oksigen (O2), 1% Argon 7 % Air (H2O), 0.01 % Ozon (O3), 0,01 hingga 0,1% Karbondioksida (CO2), dan sisanya adalah gas-gas lain seperti gas mulia. Dimana gas yang termasuk dalam kategori gas mulia antara lain adalah: Helium, Neon, Argon, Kripton, Xenon, Radon, dan Ununoktium. Gas mulia elektronnya berakhir pada ns2 np6, kecuali helium 1s2. Sifatnya dalam wujud gas sangat stabil (keelektronegatifan = 0).
Dapat pula terjadi di lapisan stratosfer yang berada di ketinggian 15 sampai dengan 50 km, dengan lapisan ozon pelindung radiasi UV di lapisan paling atasnya. Juga di lapisan Mesosfer yang berketinggian 50 sampai dengan 80 km. Dimana meteor ataupun benda langit lainnya yang memasuki atmosfer bumi akan terbakar di lapisan ini.
Perubahan karakteristik fisika kimia yang dapat memicu perubahan penampakan langit juga dapat terjadi di lapisan termosfer yang terletak pada ketinggian 85 sampai dengan 375 km, dan kerap disebut juga lapisan ionosfer karena disanalah terjadi proses ionisasi yang berperan dalam memantulkan dan merambatkan gelombang radio. Dan perubahan juga dapat terjadi di lapisan eksosfer yang berada di ketinggian 500 sampai dengan 1000 km, dimana kandungan udara semakin berkurang dan menipis.
Setahun setelah Forster melihat fenomena langit unik di atas London itu, di USA, tepatnya di New England muncul istilah tahun tanpa musim panas, dan di Jerman serta Perancis terjadi ledakan populasi pengemis. Mengapa ? Karena perubahan dinamika atmosfera telah menyebabkan terjadinya gagal panen di banyak negara. Bahkan para pengunjung ke Perancis menduga ada barisan tentara yang sedang berlatih baris berbaris saat melihat ada serombongan pengemis di jalanan kota Paris.
Mengapa tahun 1815, 1816, sampai 1817 menjadi tahun-tahun yang mematikan di hampir seluruh dunia ? Jawabannya adalah erupsi dahsyat gunung Tambora yang terletak di Sumbawa Indonesia.
22 tahun sebelumnya Benjamin Franklin, seorang cendekiawan serba bisa Amerika yang diangkat sebagai anggota kehormatan _Phylosophical Society_ Manchester telah mengajukan suatu makalah tipis terkait perubahan iklim regional akibat erupsi gunung Laki di Islandia.
Saat itu banyak cendekiawan meragukan hasil kajian Benjamin Franklin yang dianggap bersifat asumtif dan spekulatif itu. Tetapi ternyata di kemudian hari letusan Tambora membuktikan bahwa teori Benjamin Franklin benar adanya. Erupsi gunung api dapat mempengaruhi iklim, tidak hanya regional, melainkan juga global.
Penulis sendiri dalam salah satu kunjungan ke _American Natural History Museum_ yang terletak di _West Central Park_ New York sempat mengunjungi seksi paleometeorologi yang antara lain memamerkan sampel hasil pemboran di Antartika yang menunjukkan lapis-lapis es, dimana terdapat lapis yang mengandung abu vulkanik yang dihasilkan oleh letusan _super vulcano_ Toba Purba pada 74 ribu tahun lalu.
Berbagai fenomena alam yang terjadi beberapa hari belakangan ini seolah mengingatkan kita kembali untuk terus belajar tentang alam.
Belum usai keterkejutan kita akan guncangan gempa besar di lepas pantai Sumur Pandeglang dengan magnitudo 6,6 SR dengan kedalaman hiposentrum 40 km, dan titik episentrum sekitar 52 km lepas pantai, serta dari hasil analisis BMKG diduga mekanismenya bersumber dari sesar naik (thrusting) yang berasosiasi dengan sumber gempa megathrust Selat Sunda. Zona subduksi yang terbentang di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera dan lepas pantai selatan pulau Jawa, atau yang dikenal juga sebagai zona Wadati-Benioff. Sudah disusul lagi dengan kekagetan saat mendengar adanya erupsi gunung api bawah laut di Pasifik, di negara kepulauan Tonga tepatnya.
Gunung api bawah laut Hunga-Tonga-Hunga-Ha'apai yang terletak sekitar 30 km tenggara Pulau Fonuafo'ou dan sekitar 65 km utara Nuku'alofa, ibukota Tonga, meletus pada hari Jumat 14 Januari 2022. Letusan kedua menimbulkan tsunami yang segera saja memicu sistem alarm peringatan tsunami Pasifik. Wilayah pantai barat USA, negara bagian Hawaii, dan kepulauan Jepang bersiaga. Dan memang tsunami datang sesuai dengan yang telah diprediksi berdasar hasil komputasi dan simulasi. Tinggi dan intensitasnya beragam sesuai dengan prasyarat dan kondisi yang menyertainya.
Hunga Tonga sendiri merupakan gunung api bawah laut yang merupakan bagian dari cincin api trans Pasifik yang membelit hemisfer bumi, mulai dari ujung selatan Chile, gunung St Helena di Washington State, gunung Fuji di Jepang, sampai ke Krakatau yang berada di selat Sunda (Gillen D'Arcy Wood, 2015).
Kejadian itu masih ditambah dengan terjadinya gempa yang bersumber dari sesar lokal Rembang-Madura-Kangean-Sakala yang mengguncang wilayah Bangkalan dan sekitarnya dengan intensitas 4,1 SR. Pergerakan sesar lokal ini memicu kekhawatiran terkait dengan keberadaan beberapa sesar purba yang melintasi wilayah padat penduduk yang ada di sekitarnya seperti sesar Keputih yang melalui wilayah megapolis Surabaya.
Terkait dengan berbagai fenomena alam tersebut tentu kita bertanya-tanya, pertanda apakah ini gerangan ? Apakah tindakan-tindakan eksploitatif bermotif antroposentrik yang sudah manusia lakukan selama ini memantik terjadinya respon alam yang sedemikian rupa ?
Hipotesa sementara dan berbagai asumsi yang berkembang memang bisa saja menjangkau ranah itu. Tetapi ada baiknya kita menjadikan berbagai fenomena alam yang terjadi belakangan ini sebagai pemicu proses belajar kita agar dapat mengenal alam dengan lebih dekat dan cermat.
Tentu saja dengan semakin mengenal dan memahami berbagai mekanisme yang terjadi di alam, kita akan semakin cerdas dalam memitigasi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi sebagai konsekuensi relasi dan interaksi antara manusia dan alam sebagai habitatnya. Tak hanya itu saja, kita diharapkan lebih bijak, arif, dan peduli sehingga mampu mengembangkan model adaptasi yang selaras dan harmoni.
Bumi yang terdiri dari lapisan litosfer atau _crust_, dengan lapisan di bawahnya adalah astenosfer atau mantel dan yang paling bawah adalah inti bumi, mengandung energi yang bersumber dari proses awal penciptaan dan berwujud sebagai materi inti bumi yang terletak mulai dari kedalaman 2900 km sampai ke pusat bumi. Materi inti bumi ini terdiri dari besi (Fe) dan Nikel (Ni) cair dan padat. Keberadaan materi cair ini yang menjadikan terciptanya efek geodinamo yang antara lain menghasilkan sabuk Van Allen yang melindungi atmosfer bumi dari pajanan elektron matahari.
Bagian inti bumi ini diselubungi lapisan mantel dan kerak bumi. Dimana kerak dan bagian mantel yang relatif padat membentuk lapisan litosfer. Karena konveksi pada mantel bagian atas dan astenosfer, litosfer dipecah menjadi lempeng tektonik yang bergerak.
Sehingga pada lapisan kerak bumi terdapat saluran-saluran keluar material magmatik berupa gunung api dan kepundannya. Ketebalan lapis kerak bumi sendiri bervariasi. Kerak samudera memiliki ketebalan sekitar 5 sampai dengan 10 km. Sedangkan kerak benua memiliki ketebalan sekitar 20 sampai dengan 70 km.
Unsur kimia pembentuk kerak bumi terdiri dari:
Oksigen (O) (46,6%),
Silikon (Si) (27,7%),
Aluminium (Al) (8,1%),
Besi (Fe) (5,0%),
Kalsium (Ca) (3,6%),
Natrium (Na) (2,8%),
Kalium (K) (2,6%),
Magnesium (Mg) (2,1%).
Bagian mantel bumi adalah bagian paling dominan dari keseluruhan entitas bumi secara geologis, yaitu 67,8% jika dinilai dari aspek massa dan 82,3% jika berdasar volume.
Bagian mantel bumi yang berfasa cair atau yang dikenal sebagai astenosfer adalah daerah sumber pergerakan pergerakan lempeng yang disebabkan oleh gaya konveksi atau energi dari panas bumi yang berasal dari inti bumi.
Ketebalan astenosfer ini berkisar sekitar 2883 km. Densitasnya berkisar dari 5.7 gr/cc dekat dengan inti dan 3.3 gr/cc di dekat kerak bumi. Pada wilayah selubung bagian atas akan mulai terbentuk intrusi magma yang diakibatkan oleh batuan yang menyusup dan meleleh.
Maka tentu merupakan suatu keniscayaan jika dinamika pada kerak bumi antara lain dapat termanifestasi kan pada erupsi gunung api (aktivitas vulkanik) dan juga aktivitas tektonik.
Pada aktivitas tektonik dinamika kerak bumi menimbulkan pembentukan lempengan-lempengan yang dapat saling hertumbukan dan terus menerus memperbaharui keseimbangan yang terwujud dalam berbagai perubahan geomorfologi.
Evolusi rupa muka bumi diduga disebabkan hal ini. Perubahan dari benua Gondwana dan Pangea dalam proses ratusan juta tahun hingga menghadirkan bentuk rupa bumi dengan benua yang kita kenal saat ini juga salah satu manifestasi dari proses geodinamika tersebut.
Aktivitas lempenganbyang membentukbkerak bumi ditandai pula dengan pergerakan dan tumbukan yang dapat menjadi penyebab dikonversinya energi potensial menjadi energi kinetik yang menghasilkan gelombang seismik.
Mengacu kepada informasi dari Balai Besar Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah III, wilayah Indonesia adalah pertemuan dari lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Dimana kondisi itu membuat kejadian gempa bumi di Indonesia kerap dirasakan.
Lempeng Indo-Australia di wilayah Indonesia cenderung bergerak ke arah utara dan menyusup ke dalam lempeng Eurasia. Sementara itu, lempeng Pasifik relatif bergerak ke arah barat. Sehingga terciptalah zona subduksi yang antara lain teridentifikasi sebagai zona Wadati-Benioff di daerah pertemuan antara lempeng Indo Australia dan Eurasia.
Belajar dari berbagai fenomena alam yang erat hubungannya dengan peradaban dan keberlangsungan hidup ummat manusia, maka manusia dengan kemampuan, kapasitas, dan kompetensinya untuk melakukan proses pembentukan persepsi, analisis, dan perencanaan strategis, serta pengembangan inovasi secara kreatif yang dilambari demgan kemampuan membangun konstruksi interaksi melalui berbagai model komunikasi, dapat mengembangkan berbagai metoda mitigasi, sistem peringatan dini, dan juga merencanakan pembangunan permukiman dan sarana serta prasarana publik secara cerdas seiring dan sejalan dengan kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang mengedepankan konsep Bestari secara berkesinambungan.
BMKG misalnya telah berhasil menganalisis prekursor gempa bumi dengan metode magnet bumi yang menghasilkan kapan gempa bumi akan terjadi dengan rentang waktu prakiraan antara 1-30 hari ke depan di mana area gempa bumi akan terjadi dengan area duga aktif yang terbatas (tidak luas) dan berapa besar kekuatan gempa bumi (magnitudo) akan terjadi.
BRIN melalui OR PPT t lah mengembangkan sistem INA TEWS atau _Indonesia Tsunami Early Warning System_ dengan memasang buoy di lokasi-lokasi yang telah diprediksi sebagai area rawan tsunami. Dilengkapi dengan sistem analisis berbasis kecerdasan artifisial dan terintegrasi dengan sistem peringatan dini kepada masyarakat di daerah berpotensi terdampak, sistem ini menjadi sistem pencegahah bencana yang terkategori cerdas dan adaptif.
Berbagai metoda lain pun telah banyak dikembangkan, misal dalam memodifikasi cuaca dengan menyemai awan agar hujan terjadi di daerah yang tidak berpotensi untuk menimbulkan bencana hidrologis misalnya.
Penyemaian awan dilakukan dengan menggunakan bahan atau material yang bersifat higroskopis, biasa disebut sebagai _flare_. Flare adalah bahan semai yang terbuat dari NaCl dan CaCl2. Kemudian mater _flare_ ini akan dibakar dan menghasilkan partikel seperti asap, dimana sifat asap ini ringan sehingga mudah menyebar dan dapat menjadi medium penghantar material higroskopis ke seluruh bagian awan secara efektif. Sehingga terjadi percepatan proses kondensasi dan hujan dapat diturunkan lebih awal di daerah yang telah direncanakan.
Demikian pula kemajuan teknologi kebumian dan antariksa telah mendorong terjadinya pengembangan teknologi yang dapat memetakan dan mengakuisisi data yang kemudian dapat dianalisis sebagai bahan pertimbangan dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan alam. Sektor transportasi, energi, telekomunikasi, perikanan, pertanian, peternakan, kehutanan, kesehatan, dan manajemen kebencanaan serta tanggap darurat amat bergantung kepada ketersediaan data-data tersebut.
_Data driven policy_ yang kini menjadi arus utama dalam sistem pengambilan keputusan cerdas di setiap tingkatan dan dimensi memerlukan informasi terstruktur dan sistematis yang bersumber dari proses mempelajari alam secara berkesinambungan.
Maka marilah kita terus belajar dari alam dan terus berupaya merumuskan model-model interaksi yang diharapkan dapat menghadirkan harmoni dan keselarasan dalam sebentuk orkestrasi fungsi yang mampu mengoptimasi utilitas setiap elemen yang terlibat di dalamnya. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar