Model Pembinaan Anak yang Diduga Terlibat Radikalisme dan Terorisme - bregasnews.com - Koran Online Referensi Berita Pantura

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Jumat, 21 November 2025

Model Pembinaan Anak yang Diduga Terlibat Radikalisme dan Terorisme

Oleh : Dede Farhan Aulawi
Perkembangan radikalisme dan terorisme semakin menempatkan anak-anak sebagai kelompok yang rentan terekspos ideologi ekstrem. Mereka dapat terpapar melalui lingkungan keluarga, pertemanan, lembaga pendidikan, maupun ruang digital. Karena statusnya sebagai anak, pendekatan penanganan tidak boleh menggunakan cara represif layaknya pelaku dewasa. Anak harus ditempatkan sebagai korban situasi yang memerlukan pendampingan khusus. Oleh sebab itu, model pembinaan yang holistik, ramah anak, dan berorientasi pada rehabilitasi menjadi kebutuhan mendesak untuk memutus rantai radikalisasi sejak dini.

Pembinaan anak yang diduga terlibat radikalisme berlandaskan prinsip :
- Kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child). Semua tindakan harus mengutamakan perlindungan jiwa, hak pendidikan, dan masa depan anak.
- Pendekatan rehabilitatif, bukan represif. Anak bukan objek penghukuman, tetapi subjek pembinaan yang perlu dipulihkan.
- Pendekatan multidisipliner. Melibatkan psikolog, pekerja sosial, pendidik, tokoh agama moderat, serta aparat keamanan.
- Non-stigmatisasi. Pembinaan harus mencegah pelabelan negatif yang bisa menghambat reintegrasi sosial.
- Faktor Kerentanan Anak. Model pembinaan yang tepat harus memahami akar kerentanan anak, antara lain Pengaruh keluarga yang terpapar ideologi ekstrem, Keterasingan sosial atau bullying yang membuat anak mudah direkrut kelompok radikal, Pemahaman agama yang sempit, tanpa literasi keagamaan yang memadai, Paparan konten radikal di media sosial dan platform game, dan Kondisi psikologis labil seiring tahap perkembangan usia.  Pemahaman faktor inilah yang menentukan desain pembinaan yang sesuai.

*Model Pembinaan yang Komprehensif*
1. Asesmen Awal dan Identifikasi Tingkat Paparan
Langkah pertama adalah asesmen mendalam yang mencakup kondisi psikologis anak, tingkat pemahaman terhadap ideologi ekstrem, pola hubungan dengan keluarga,dan intensitas paparan digital. Asesmen menentukan apakah anak masuk kategori terpapar ringan, moderat, atau berat, sehingga pola pembinaannya dapat diukur.

2. Pembinaan Psikologis dan Konseling Intensif
Model pembinaan menempatkan psikolog anak sebagai komponen utama melalui konseling trauma, terapi kognitif-perilaku (CBT) untuk mengubah pola pikir ekstrem, penguatan kepercayaan diri dan identitas positif, dan manajemen emosi dan kontrol impuls. Psikolog bekerja untuk memutus pengaruh doktrin dan mengembalikan stabilitas emosional anak.

3. Pendidikan Moderasi Beragama dan Literasi Kebangsaan
Pembinaan dilakukan dengan pendidikan keagamaan moderat bersama ustaz, pendeta, atau tokoh agama kredibel, literasi Pancasila dan nilai toleransi, diskusi kritis yang mendorong kemampuan berpikir analitis, dan kegiatan pembiasaan seperti kerja sosial, bakti masyarakat, dan dialog lintas agama. Tujuannya membangun pemahaman agama yang sejuk, rasional, dan tidak tekstual semata.

4. Penguatan Peran Keluarga
Keluarga adalah faktor paling menentukan keberhasilan program. Pembinaan meliputi konseling keluarga, edukasi parenting anti-radikalisme, pendampingan ekonomi bagi keluarga rentan,  dan rekoneksi emosional anak dengan orang tua. Keluarga harus menjadi lingkungan aman yang tidak lagi memperkuat narasi ekstrem.

5. Rehabilitasi Digital (Digital Deradicalization)
Karena banyak anak terpapar melalui dunia maya, pembinaan mencakup literasi digital kritis, pelatihan deteksi hoaks dan propaganda, pengalihan minat ke kegiatan positif, pendampingan penggunaan gawai yang sehat. Program ini mencegah anak kembali terjerumus ke jejaring ekstremis daring.

6. Pembinaan Sosial dan Pengembangan Keterampilan
Untuk mencegah keterasingan sosial, pemerintah dan lembaga pendidikan dapat memberikan pembinaan karakter, kegiatan ekstrakurikuler, pelatihan bakat (seni, olahraga, teknologi, kewirausahaan), dan program mentoring dengan figur muda inspiratif. Kegiatan ini membangun identitas diri baru yang positif serta memperkuat integrasi sosial.

7. Pendampingan Hukum yang Ramah Anak
Jika anak terlibat dalam kasus hukum, prosesnya harus mengikuti UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni diversi, pendampingan hukum, penempatan di lembaga pembinaan khusus anak, bukan penjara dewasa, dan program pendidikan formal tetap terjamin. Proses hukum wajib memprioritaskan pemulihan, bukan hukuman.

8. Reintegrasi Sosial dan Monitoring Berkelanjutan
Setelah program pembinaan selesai, perlu dilakukan follow-up berkala oleh pekerja sosial, dukungan sekolah agar anak tidak distigma, mekanisme perlindungan jika keluarga atau lingkungan berpotensi memicu kembali radikalisasi, dan pemberdayaan ekonomi keluarga. Reintegrasi sosial yang mulus memastikan keberlanjutan hasil pembinaan.

Jadi, model pembinaan anak yang diduga terlibat radikalisme dan terorisme harus mengutamakan perlindungan, rehabilitasi, dan pendekatan multidisipliner. Anak adalah korban keadaan yang membutuhkan pendampingan intensif agar dapat kembali menjalankan kehidupan normal. Dengan asesmen yang tepat, pembinaan psikologis, pendidikan moderasi, penguatan keluarga, rehabilitasi digital, serta reintegrasi sosial yang berkelanjutan, maka peluang untuk memutus rantai radikalisasi dapat diwujudkan. Upaya ini bukan hanya menyelamatkan masa depan anak, tetapi juga memperkuat ketahanan bangsa dari ancaman ekstremisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Iklan Disewakan

Laman