Oleh : Dede Farhan Aulawi
Paparan radioaktif pada kontainer logistik dapat terjadi akibat kontaminasi bahan radioaktif selama proses pengangkutan, penyimpanan, ataupun kontak tidak langsung dengan material teraktivasi. Meskipun insiden ini jarang terjadi, standar keselamatan radiasi mengharuskan setiap perusahaan, baik di sektor logistik, perikanan, farmasi, maupun industri lainnya memiliki prosedur dekontaminasi yang ketat untuk mencegah risiko kesehatan, lingkungan, dan penolakan produk di pasar internasional. Tulisan ini mengulas teknik dekontaminasi kontainer secara teknis, komprehensif, dan sesuai standar keselamatan radiasi.
Dekontaminasi bertujuan menghilangkan atau menurunkan tingkat kontaminasi radioaktif pada permukaan kontainer hingga berada di bawah batas aman yang ditetapkan regulator seperti BAPETEN (Indonesia), IAEA, dan ICRP.
Empat prinsip utama :
- Time – mempercepat proses pembersihan untuk meminimalkan durasi paparan.
- Distance – menjaga jarak pekerja dari sumber kontaminasi saat pengukuran atau pembersihan.
- Shielding – memanfaatkan APD dan perisai fisik (perisai timbal, panel polietilen) jika diperlukan.
- Removal – fokus pada decontamination sebagai teknik fisik/kimia untuk menghilangkan kontaminan.
Sebelum proses dekontaminasi, terlebih dulu dilakukan survei radiasi menggunakan :
- Geiger-Mueller counter untuk kontaminasi permukaan beta/gamma.
- Scintillation detector untuk tingkat radiasi rendah.
- Alpha probe untuk kontaminasi alpha yang sulit dideteksi.
- Pemetaan area terkontaminasi pada kontainer:
- Dinding dalam/luar kontainer
- Lantai kontainer
- Celah engsel, pintu, ventilasi
Menentukan jenis isotop radioaktif, apabila memungkinkan, melalui gamma spectrometry. Ini penting karena karakteristik isotop menentukan metode dekontaminasi.
Dekontaminasi fisik digunakan untuk kontaminasi permukaan yang tidak menembus material struktur kontainer.
a. Pencucian Tekanan Tinggi (High-Pressure Washing). Menggunakan air bertekanan 150–250 bar untuk melepaskan partikel radioaktif yang menempel. Bagus untuk kontaminan debu radioaktif, partikel logam teraktivasi, atau serpihan bahan radioaktif.
b. Penyedotan dengan HEPA Vacuum. Vacuum industrial dengan filter HEPA 99,97% untuk menangkap partikel pengion kecil. Aman untuk kontaminasi kering pada permukaan metal.
c. Abrasive Blasting / Sand Blasting Ringan. Menggunakan pasir kuarsa, sodium bicarbonate, atau dry ice blasting untuk mengikis permukaan kontainer. Teknik ini dipakai jika kontaminasi menempel kuat pada lapisan cat atau korosi.
d. Pengelupasan Lapisan (Coating Removal). Jika isotop menempel pada lapisan cat, maka cat lama dikelupas, lalu dilakukan repainting dengan epoxy coating anti-adsorpsi. Metode ini sering digunakan di industri nuklir dan fasilitas penyimpanan isotop.
Untuk kontaminasi yang tidak bisa hilang hanya dengan pembersihan fisik.
a. Detergen dan Surfaktan Khusus. Larutan surfaktan non-ionik atau anionik digunakan untuk melarutkan kontaminan organik yang menahan radionuklida.
b. Chelating Agents (EDTA, DTPA). Mengikat ion radioaktif seperti Co-60, Cs-137, Sr-90 sehingga mudah dibilas. Digunakan dalam konsentrasi rendah untuk menghindari korosi logam kontainer.
c. Oxidation–Reduction Cleaning. Larutan oksidator seperti H₂O₂ (hidrogen peroksida), KMnO₄, larutan asam ringan (citric acid, oxalic acid). Metode ini memecah ikatan kimia antara isotop dan permukaan metal.
d. Foaming Decontamination. Busa dekontaminasi digunakan untuk menempel di permukaan vertikal, meningkatkan waktu kontak larutan kimia. Sering dipakai pada dinding kontainer.
Teknik Dekontaminasi Biologis (Bio-Decontamination) masih terbatas, tetapi digunakan pada kontaminasi organik yang bercampur radionuklida. Enzim tertentu dapat merusak biofilm atau kerak organik sehingga radionuklida terlepas.
*Prosedur Dekontaminasi Standar*
Tahap 1 – Isolasi Area. Kontainer ditempatkan di area dekontaminasi khusus. Pekerja menggunakan APD radiasi: coverall, sarung tangan, respirator, dosimeter.
Tahap 2 – Pre-Cleaning. Pembersihan awal untuk menghilangkan kontaminasi kotoran non-radioaktif.
Tahap 3 – Decontamination. Memilih metode berdasarkan tingkat kontaminasi, jenis isotop, jenis material kontainer. Menggabungkan metode fisik + kimia bila perlu.
Tahap 4 – Pengukuran Ulang. Pengukuran dilakukan pada titik-titik yang sebelumnya terkontaminasi. Batas keberterimaan biasanya <0,4 Bq/cm² untuk beta/gamma, <0,04 Bq/cm² untuk alpha (Standar dapat berbeda berdasarkan regulasi negara.)
Tahap 5 – Pengemasan Limbah Dekontaminasi. Setiap air cuci, lumpur, bahan blasting, kain lap dekontaminasi harus dikumpulkan sebagai limbah radioaktif.
Tahap 6 – Sertifikasi Kebersihan Radiasi. Inspektur keselamatan radiasi menerbitkan Radiation Clearance Report, dokumentasi pembacaan alat, foto pemetaan radiasi sebelum-sesudah. Dokumen ini penting untuk ekspor agar tidak terjadi shipment rejection.
*Pencegahan Kontaminasi di Masa Depan*
- Kontainer diberi coating anti-kontaminasi (epoxy non-porous).
- Inspeksi radiasi rutin untuk kontainer yang sering dipakai mengangkut bahan berisiko.
- Segregasi kontainer khusus untuk produk berpotensi terpapar radiasi (contoh: bahan tambang, produk laut dari daerah tertentu).
- SOP pemuatan dan bongkar muat yang melarang barang radioaktif berdekatan dengan produk pangan.
- Pelatihan pekerja logistik dalam deteksi dini kontaminasi radiasi.
Jadi, dekontaminasi kontainer yang terpapar radioaktif memerlukan pendekatan ilmiah yang sistematis, mulai dari survei radiasi, pemilihan metode dekontaminasi fisik/kimia, penanganan limbah, hingga sertifikasi. Dengan pendekatan yang benar, risiko penolakan ekspor, dampak kesehatan, dan pencemaran lingkungan dapat diminimalkan. Penerapan standar internasional dan peningkatan kewaspadaan dalam rantai logistik menjadi kunci agar kontainer aman digunakan kembali dan bebas dari kontaminasi radioaktif.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar