Dede Farhan Aulawi, Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kedaulatan Pangan - bregasnews.com - Koran Online Referensi Berita Pantura

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Rabu, 29 September 2021

Dede Farhan Aulawi, Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kedaulatan Pangan



Bregasnews.com - “ Terminologi Perubahan Iklim di tengah masyarakat awam mungkin tidak terlalu populer, kecuali di kalangan siswa menengah atau mahasiswa yang memiliki mata pelajaran atau mata kuliah yang bersinggungan dengan hal tersebut. Dampaknya hanya sebagian orang saja yang memiliki kepedulian untuk menjaga kelestarian alam, termasuk di dalamnya kelestarian hutan padahal eksistensinya sangat penting buat masa depan umat manusia. Untuk itulah semangat mensosialisasikan pengertian, dampak dan upaya – upaya untuk mengatasinya harus dilakukan sedini mungkin secara sistematis, masif dan struktur agar dampak yang ditimbulkannya bisa diminimalisir. Di sinilah urgensi agar masyarakat secara kolektif bisa diberi pemahaman tentang  adaptasi untuk menangani dampak dan mitigasi dalam mengendalikan perubahan iklim, serta mampu melakukan aksi dan upaya yang dapat mengatasi dampak yang timbul ataupun dampak yang diperkirakan akan timbul akibat perubahan iklim tersebut “, ujar Pemerhati Kedaulatan Pangan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Rabu (29/9).


Lebih lanjut dia pun menambahkan terkait dengan kondisi Indonesia yang masuk sebagai salah satu negara yang cukup rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan muka air laut, gangguan di sektor pertanian dan kedaulatan pangan jadi ancaman di depan mata. Termasuk masalah yang terus berulang, yaitu kebakaran hutan dan lahan akan menjadi tentangan terberat. Meskipun ada pelaku perorangan atau perusahaan yang sudah diberikan sangsi berupa hukuman, namun nampaknya hal tersebut tidak terlalu berdampak karena faktanya setiap tahun kejadian yang sama terus berulang. Ungkap Dede.


Jika melihat kawasan tropis Samudera Pasifik, terdapat dua fenomena iklim yang biasanya diikuti oleh bencana alam yang melanda kawasan di sekitarnya, termasuk diantaranya Indonesia. Kedua fenomena tersebut disebut El Nino dan La Nina, yang merupakan perubahan sementara dari pergerakan angin di atmosfer dan pergerakan air di lautan. Setiap tiga sampai tujuh tahun, angin yang berada di atas kawasan tropis Samudera Pasifik menjadi lebih lemah. Hal ini akan mempengaruhi pergerakan air laut dan mengakibatkan air di bagian timur Samudera Pasifik menjadi lebih hangat.


Kemudian Dede juga menjelaskan bahwa di Indonesia efeknya adalah suhu menjadi lebih panas di musim kemarau dan lahan - lahan menjadi rentan terbakar. Kebakaran besar hutan dan lahan yang melanda Kalimantan dan Sumatera pada 1982 −1983 dan 1997 − 1998 terjadi pada saat El Nino berlangsung. Sementara pada La Nina, kondisi yang berlangsung adalah sebaliknya, yakni angin yang berada di atas kawasan tropis Samudera Pasifik menjadi lebih kuat sehingga membawa air yang lebih dingin ke bagian timur Samudera Pasifik. Keadaan ini akan meningkatkan curah hujan, yang akhirnya mengakibatkan banyak daerah pesisir dan dataran rendah mengalami banjir dan terendam. Semua bisa dilihat dari data berbagai musibah yang melanda tanah air, baik musibah saat musim kemarau maupun berbagai musibah lainnya saat memasuki musim penghujan. Apalagi frekuensi terjadinya El Nino dan La Nina nampaknya semakin meningkat.


Bukan hanya terhadap musibah alam saja, perubahan iklim pun telah mengacaukan musim hujan dan musim kemarau. Para petani kini sulit menentukan varietas tanaman dan jadwal tanam lantaran iklim sulit diduga. Hal ini bisa terbukti dari berbagai dialog langsung dengan para petani di berbagai daerah di Indonesia. Coba saja perhatikan, dimana kekeringan dan banjir telah menggagalkan produksi pangan, termasuk sawah banyak puso atau gagal panen. Perubahan iklim yang terjadi, merupakan stabilisasi pemanasan global yang memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyimpang dari biasanya, dan terus meningkat, baik frekuensinya, kegawatannya, maupun lamanya. 


Contoh nyata yang pernah terjadi pada 2003 di Indramayu, dimana ketika para petani mengalami suatu kejadian yang sangat merugikan. Saat itu ada ribuan hektar lahan puso dan mengalami gagal panen. Kala itu mereka menanam padi jenis Talimas, salah satu varietas padi yang butuh waktu panjang dan perlu banyak air, dengan harapan dapat memperoleh hasil yang memuaskan dengan harga jual yang baik. Para petani saat itu mengalami kesalahan dalam meramalkan iklim yang berlangsung. Musim hujan yang mereka duga akan berlangsung panjang, justru berlangsung jauh lebih pendek. Akibatnya, sawah hanya menghasilkan bulir-bulir gabah kosong karena kekurangan air. 


Bencana yang dialami petani Indramayu tersebut merupakan gambaran bahwa perubahan iklim telah berlangsung dan berdampak langsung pada masyarakat dan sektor pertanian. Perubahan iklim ini membuat iklim terus berubah sehinggasulit diprediksi. Musim hujan terkadang menjadi lebih panjang dan kerap mengakibatkan banjir yang merendam persawahan di dataran rendah. Sementara saat musim kemarau berlangsung, kekeringan berlangsung lebih panjang dan tidak tersedia air yang memadai untuk bercocok tanam. Musim tanam pun kerap bergeser dari yang biasanya berlangsung.


“ Dengan kondisi iklim yang tidak menentu dan sulit diprediksi tersebut berdampak terhadap volume hasil panen domestik sulit diperkirakan, maka pemerintah akhirnya membuat perencanaan terhadap kemungkinan import beras dalam rangka menjaga ketersediaan pangan di dalam negeri atau lebih dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Berangkat dari fakta ini, maka jelas konsep kedaulatan pangan pun masih jauh. Untuk itulah diperlukan upaya bersama agar bisa saling bahu membahu guna meningkatkan upaya – upaya dalam mewujudkan kedaulatan pangan “, pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Iklan Disewakan

Laman