Oleh : Dede Farhan Aulawi
Kemampurawatan Alutsista (Alpalhankam) adalah kegiatan pemeliharaan dan perawatan berkala terhadap Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) agar tetap berfungsi baik dan siap operasi, serta menjaga kedaulatan negara. Alutsista mencakup senjata, kendaraan tempur, pesawat, kapal perang, amunisi, alat komunikasi, dan elektronik pertahanan. Kegiatan kemampurawatan alutsista, yang sering disebut Harwat, dilaksanakan oleh satuan pemeliharaan TNI dan MRO (Maintenance Repair and Overhaul) di dalam maupun luar negeri, dan merupakan bagian penting dari pembangunan postur pertahanan negara.
Masalah fundamental dalam kemampurawatan alutsista (alat utama sistem senjata) mencakup berbagai aspek strategis, teknis, dan manajerial yang memengaruhi kesiapan dan keberlangsungan operasional alutsista suatu negara, termasuk Indonesia. Hal – hal penting terkait dengan hal tersebut, adalah :
Pertama, Ketergantungan pada Luar Negeri. Banyak alutsista Indonesia masih bergantung pada suku cadang dari negara asal pembuat. Jika terjadi embargo atau konflik diplomatik, maka proses perawatan menjadi terganggu. Disamping itu, juga ada kerja sama pengadaan alutsista tidak disertai dengan ToT yang cukup, sehingga industri dalam negeri tidak berkembang.
Kedua, Usia Alutsista yang Sudah Tua. Banyak alutsista sudah berusia puluhan tahun, yang menyebabkan sering terjadi kerusakan (MTBF rendah), ketersediaan suku cadang menipis atau dihentikan produksinya, dan biaya pemeliharaan lebih mahal dibanding penggantian unit baru.
Ketiga, Keterbatasan Infrastruktur Pemeliharaan. Fasilitas MRO (Maintenance, Repair, Overhaul) terbatas, baik secara jumlah maupun kualitas. Beberapa jenis perawatan masih harus dilakukan di luar negeri. Termasuk minimnya laboratorium uji dan fasilitas simulator.
Keempat, Kurangnya SDM yang Kompeten, yang ditandai dengan kurangnya teknisi bersertifikat internasional. Ada juga terkait rotasi personel yang terlalu cepat menyebabkan teknisi tidak sempat menjadi ahli di satu platform alutsista tertentu.
Kelima, Manajemen Logistik yang Lemah. Sistem manajemen suku cadang dan logistik tidak terintegrasi secara digital, menyebabkan penumpukan stok yang tidak dibutuhkan, kelangkaan barang penting, dan lama waktu tunggu (lead time) tinggi.
Keenam, Keterbatasan Anggaran Pemeliharaan. Anggaran negara lebih difokuskan pada pengadaan alutsista baru, sementara biaya pemeliharaan dan peningkatan (upgrade) sering tidak proporsional. Akibatnya banyak alutsista yang hanya siap tempur "di atas kertas" (paper readiness).
Ketujuh, Tidak Optimalnya Sinergi Industri Dalam Negeri. Industri BUMN pertahanan seperti PT Pindad, PT PAL, PT DI belum sepenuhnya mampu mendukung kebutuhan perawatan alutsista secara mandiri. Kolaborasi antara TNI, industri, dan akademisi masih belum terjalin kuat dan berkesinambungan.
Dampak dari hal – hal di atas, maka kesiapan tempur relatif rendah, risiko kecelakaan tinggi, waktu tanggap darurat lambat, ketergantungan kepada pihak asing tinggi sehingga mengurangi kedaulatan.
Solusi Strategisnya adalah :
- Perkuat industri pertahanan dalam negeri dan tuntut Transfer Teknologi dalam setiap pengadaan.
- Bangun pusat MRO nasional untuk tiap matra TNI.
- Pendidikan dan pelatihan SDM secara berkelanjutan, termasuk sertifikasi teknisi.
- Digitalisasi manajemen logistik dan prediksi kebutuhan suku cadang berbasis data.
- Reorientasi anggaran agar tidak hanya fokus pada pembelian baru, tapi juga pada pemeliharaan dan modernisasi.
Semoga tulisan singkat ini bisa bermanfaat, sehingga kemampurawatan alutsista ke depannya bisa lebih baik lagi.***





Tidak ada komentar:
Posting Komentar